Ada sederet kontroversi dan misteri dalam sosok Tan Malaka. Di antaranya adalah kematiannya dan makamnya. Keberadaan makam dan penyebab kematian Tan menjadi polemik selama 30 tahun. Tan Malaka hilang seperti ditelan bumi dan tak tentu rimbanya sejak Februari 1949 silam.
Setidaknya, ada lima versi kematian Tan. Bahkan, menurut Hasan Nasbi, penulis buku "Filosofi Negara Menurut Tan Malaka", seperti dikutip Okezone.com (13/9/2009), "ada tukang bengkel di Surabaya yang mengaku-ngaku sebagai penembak Tan Malaka." Sempat pula beredar beredar kabar bahwa Tan ditembak dan dibuang ke kali Brantas. Malah ada juga yang mengatakan bawah kematian Tan Malaka memang murni karena faktor kesehatannya yang menurun.
Namun, sejarawan Belanda, Harry A. Poeze, meyakini bahwa Tan ditembak mati pada 21 Februari 1949 atas perintah Letda Soekotjo dari Batalyon Sikatan, Divisi Brawijaya. Mayatnya kemudian dikuburkan di Desa Selopanggung, Kecamatan Semen, Kediri, Jawa Timur. Ini adalah versi Sukarna, seorang pengawal Tan yang berhasil kabur dari tahanan. Dia sempat menceritakan kembali kepada Jamalludin Tamim, salah satu pengikut Tan sewaktu di Bangkok.
Eksekusi itu diawali pada 1949, saat markas Tan di Pace, Jawa Timur, disergap oleh Tentara Republik Indonesia. Pasukan ini urung menangkap Tan karena ditarik mundur untuk menghalau Belanda yang melakukan penyerangan dari utara. Tan dan 60 orang pengikutnya dibebaskan.
Tan bersama pengikutnya kemudian melarikan diri ke selatan Jawa Timur. Namun dalam perjalanan, mereka ditembak oleh sekelompok bersenjata. Tan selanjutnya membagi rombongan menjadi empat kelompok. Dirinya dan empat orang pengikutnya pergi ke kawasan Tulung Agung, mengharapkan masih ada batalyon tentara di sana yang masih bersimpati pada mereka. Setelah dua hari berjalan, mereka tiba-tiba disergap di suatu desa kecil bernama Selo Panggung. Tan pun di tembak mati di tempat itu. Itulah salah satu versi sejarah tentang kematian Tan.
Mengenai makam Tan, ada versi yang menyebutkan bahwa jasad dan makamnya tidak berada di Indonesia, melainkan di luar negeri, dibawa oleh para penjajah. Namun, pada 12 September 2009, atas petunjuk Poeze, makam yang diduga sebagai tempat peristirahatan terakhir Tan itu dibongkar oleh tim forensik Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM). Dan, menurut Poeze, dari hasil penggalian makam dan hasil uji kerangka jenazah, 99 persen jenazah yang ditemukan tersebut cocok dengan Tan.
Terkait penemuan itu, pihak keluarga sudah tidak mau menuntut kenapa dan siapa pun yang menyebabkan Tan meninggal, karena sudah yakin dengan hasil itu. Namun, keluarga berharap pemerintah mau mendirikan suatu pusat pendidikan atau museum Tan Malaka, terutama mendirikan House Tan Malaka atau pusat pendidikan Tan Malaka di Pandan Gadang, Suliki, Kabupaten Limapuluh Koto, Payakumbuh, Sumatera Barat. Karena hal ini dianggap penting untuk meneruskan perjuangan Tan mengenai paham Murba di kampung halamannya. Pihak keluarga juga berharap Tan dimakamkan secara resmi dan diperlakukan layaknya seorang yang telah berjasa besar bagi kemerdekaan bangsa ini. Sebab, memang, seperti ditulis Prof Mohammad Yamin dalam karyanya "Tan Malaka Bapak Republik Indonesia", "Tan tak ubahnya Jefferson Washington yang merancangkan Republik Amerika Serikat sebelum kemerdekaannya tercapai atau Rizal Bonifacio yang meramalkan Filipina sebelum Revolusi Filipina pecah."